Selasa, 14 April 2015

makalah syarat dan rukum mewarisBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hukum merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun serta syarat dalam waris mewarisi. B. Rumusan Masalah 1. apa saja rukun-rukun mewaris ? 2. apa saja syarat-syarat mewaris ? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa saja rukun-rukun mewaris 2. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat mewaris BAB II PEMBAHASAN A. Rukun Mewarisi Sepertihalnya hukum islam yang lain, fiqh mawaris juga mempunyai rukun-rukun dan syarat-syarat yang wajib ada agar proses pewarisan dapat berjalan sesuai dengan hukum yang sudah ditetapkan oleh syariat islam. Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan. Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu dari rukun tidak ada. Seperti wali dalam dalam salah satu hukum perkawinan. Apabila perkawinan dilaksanakan dengan tanpa menggunakan wali, maka perkawinan tersebut menjadi kurang sempurna, bahkan dinilai tidak sah oleh sebagian besar ulama ahli fiqh. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang ada diluar substansi dari permasalahan yang dibahas, tetapi sangat mempengaruhi terhadap perbuatan yang dilakukan. Seperti suci bagi orang yang akan mengerjakan shalat. Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, terdapat tiga rukun yang wajib ada jika akan mengamalkannya, yaitu: 1. Orang Yang Berhak Menerima Warits (Al-Warits) Al- warits adalah orang yang mendapat hak untuk mendapat bagian dari harta waris yang ditinggalkan oleh orang yang sudah mati, lantaran memiliki sebab-sebab untuk mewaris. Pengertian ahli warits disini adalah orang yang mempunyai hak terhadap harta yang sudah ditinggalkan oleh pewaris, baik sebab keturunan (anak, cucu dan lain-lain), sebab perkawinan (istri), pembebasan budak atau karena hubungan agama islam (jika tidak terdapat ahli waris yang lain). Namun, tidak semua keluarga dari pewaris termasuk dari ahli waris, karena semua sudah ada takaran masing-masing sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku didalam pembagian harta waris. 2. Orang Yang Hartanya Akan Diwariskan (Al-Muwarrits) Al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda yang bisa diwariskan kepada ahli warits. Adanya orang yang akan mewariskan hartanya, merupakan suatu rukun dalam pembagian harta waris yang wajib adanya. Karena, tanpa adanya pewaris tidak mungkin proses waris akan berjalan. Pewaris haruslah sudah dalam keadaan sudah meninggal dunia, karena pembagian harta ketika orang yang membagikan masih hidup, tidak dikatakan sebagai waris, melainkan dikatakan sebagai harta hibbah. Didalam waris, seorang pewaris tidak mempunyai hak atas harta yang ditinggalkannya, kecuali hanya sepertiga dari harta tersebut. Jadi, seorang pewaris tidak dapat memberikan hartanya kepada orang yang ia suka dan cintai melalui wasiat dengan sesuka hati, kecuali hanya sepertiga, sisanya harus dibagikan secara aturan yang berlaku didalam hukum waris islam. Hal ini sesuai dengan salah satu asas didalam pembagian harta waris, yaitu asas ijbari (paksaan). 3. Harta Yang Siap Dibagikan (Al-Irtsu) Harta yang siap dibagikan (al-irtsu) adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakai atau diwariskan pada ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat (jika pewaris meninggalkan wasiat). Harta peninggalan didalam kitab fiqih biasa disebut tirkah, yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia secara mutlak. Jumhur ulama berpendapat bahwa tirkah ialah segala yang dimiliki oleh seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, disamping harta benda, sesuatu yang merupakan hak dari almarhum, baik yang berupa hak kebendaan atau hak yang lain yang dapat dapat berpindah kepada ahli warisnya, juga dapat dijadikan harta warisan. Seperti hak mendapat bayaran hutang, bayaran kerja yang belum terbayarkan, pensiun dan lain lain. Jika dilihat suasana masyarakat Indonesia yang berbeda dengan masyarakat dimana kitab fiqih ditulis, maka tentu pemilikan terhadap harta juga berbeda. Karena ada beberapa ulama Indonesia yang menentukan bahwa harta yang diperoleh dari hasil pencarian merupakan milik bersama yang masing-masing mempunyai bagian daripadanya. Pada umumnya, di Indonesia, rumah tangga (keluarga) memiliki empat macam harta , yaitu sebagai berikut: 1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan, sebagai hasil usaha masing-masing. Harta ini akan kembali kepada masing-masing pihak jika terjadi perceraian atau kematian. 2. Harta yang dibawa saat mereka menikah, diberikan kepada kedua mempelai, mungkin berupa modal usaha atau perabot rumah tangga atau rumah tempat tinggal suami istri. Harta ini menjadi milik bersama, sehingga harus dibagi kepada keduanya jika terjadi perceraian atau kematian. 3. Harta yang diperoleh salam perkawinan berlangsung, tetapi karena hibah atau warisan dari orang tuamereka atau keluarga. Harta ini akan kembali kepada masing-masing pihak jika terjadi perceraian atau kematian. 4. Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau atas usaha salah satu pihak. Harta ini sering disebut harta gono gini. Maka ketika terjadi perceraian atau kematian, harta ini dibagi antara suami dan istri. B. Syarat-Syarat Mewarisi Hukum waris berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerancuan dalam menerapkan hukum waris, haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu: 1. Matinya Muwarits Matinya muwarrits mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru dikatakan muwarrits ketika ia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta kepada ahli warisnya ketika ia masih hidup, maka pemberian itu tidak dinamakan waris, karena syarat-syarat waris tidak terpenuhi, yaitu matinya muwarrits. Kematian muwarits, menurut ulama, dibedakan kedalam 3 macam, yaitu: • mati haqiqy (sejati), yaitu kematian yang dapat disaksikan oleh pancaindra. Seperti mati karena sakit, kecelakaan atau yang lain yang mayatnya dapat disaksikan secara nyata oleh mata kita. • Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan oleh putusan hukum setelah melalui penelitian yang jelas, meskipun mayatnya tidak ditemukan (tidak dapat dilihat mata). Seperti ketika pemerintah mengumumkan bahwa semua penumpang kapal yang tenggelam tidak ada yang selamat, meskipun belum semua jasad pemumpang yang tenggelam dapat ditemukan. • Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. Seperti orang yang pergi berburu kehutan, namun tidak kembali. Setelah dicari ternyata hanya ditemukan potongan bajunya yang berlumuran darah, maka orang tersebut diduga telah mati digigit hewan buas. 2. Hidupnya Warits Pada saat pewaris meninggal dunia haruslah ada ahli waris yang dapat menggantikan kedudukan hartanya. Maksudnya, hak kepemilikan dari pewaris harus dipindahkan kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Hidupnya ahli waris mutlak harus dipenuhi. Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah yang biasa muncul berkaitan dengan hal ini antara lain mafqud, anak dalam kandungan dan mati berbarengan. Masalah mafqud (orang yang hilang dan tidak diketahui kematiannya) terjadi dalam hal keberadaan seorang ahli waris tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dalam kasus ini, pembagian waris dilakukan dengan memandang si mafqud masih hidup. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak mafqud jika masih hidup. Jika dalam tenggang waktu yang patut ternyata mafqud tersebut tidak datang, sehingga ia diduga telah mati, bagian tersebut dibagi diantara para ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan masing-masing. Masalah anak dalam kandungan terjadi ketika istri pewaris dalam keadaan mengandung ketika pewaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat ditangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan. Masalah mati berbarengan terjadi apabila dua orang atau lebih yang saling memusakai mati berbarengan. Misalnya, seorang bapak dan anak tenggelam atau terbakar bersama-sama sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih dahulu. Dalam hal ini, keduanya tidak saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti itu oleh para fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan, tertimpa puing atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi. 3. Diketahui Status Kewarisan Status kewarisan juga merupakan syarat yang mutlak harus diketahui sebelum pembagian harta waris dilaksanakan. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, saudara kandung, saudara seayah dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus dibagikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab dalam hukum waris, perbedaan jauh dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian tersendiri. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Rukun-rukun mewaris a. Orang yang berhak menerima warits (al-warits) Al- warits adalah orang yang mendapat hak untuk mendapat bagian dari harta waris yang ditinggalkan oleh orang yang sudah mati, lantaran memiliki sebab-sebab untuk mewaris. b. Orang yang hartanya akan diwariskan (al-muwarrits) Al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda yang bisa diwariskan kepada ahli warits. c. Harta yang siap dibagikan (al-irtsu) Harta yang siap dibagikan (al-irtsu) adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakai atau diwariskan pada ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat (jika pewaris meninggalkan wasiat) 2. Syarat-syarat mewaris a. Matinya muwarits Matinya muwarrits mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru dikatakan muwarrits ketika ia telah meninggal dunia. b. Hidupnya warits Pada saat pewaris meninggal dunia haruslah ada ahli waris yang dapat menggantikan kedudukan hartanya. c. Diketahui status kewarisan Status kewarisan juga merupakan syarat yang mutlak harus diketahui sebelum pembagian harta waris dilaksanakan. DAFTAR PUSTAKA Syaebani, Beni Ahmad, 2009, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia Lubid, Suhardi K, & Simanjuntak , Komis 2008, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika Muhibbin, Moh. & Wahid, Abd. 2009, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Posistif Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Syariat islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati bahwa hukum merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual maupun kebudayaan jasmani, inilah barangkali salah satu penyebab mengapa adanya beranekaragam sistem hukum terutama hukum kewarisan. Masyarakat adat membentuk hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri.
Pada makalah kali ini kami akan menguraikan mengenai rukun serta syarat dalam waris mewarisi.
B.     Rumusan Masalah
1.      apa saja rukun-rukun mewaris ?
2.      apa saja syarat-syarat mewaris ?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa saja rukun-rukun mewaris
2.      Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat mewaris

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Rukun Mewarisi
Sepertihalnya hukum islam yang lain, fiqh mawaris juga mempunyai rukun-rukun dan syarat-syarat yang wajib ada agar proses pewarisan dapat berjalan sesuai dengan hukum yang sudah ditetapkan oleh syariat islam.
Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan. Pembahasan ini tidak sempurna, jika salah satu dari rukun tidak ada. Seperti wali dalam dalam salah satu hukum perkawinan. Apabila perkawinan dilaksanakan dengan tanpa menggunakan wali, maka perkawinan tersebut menjadi kurang sempurna, bahkan dinilai tidak sah oleh sebagian besar ulama ahli fiqh.
Sedangkan syarat adalah sesuatu yang ada diluar substansi dari permasalahan yang dibahas, tetapi sangat mempengaruhi terhadap perbuatan yang dilakukan. Seperti suci bagi orang yang akan mengerjakan shalat.
Sehubungan dengan pembahasan hukum waris, terdapat tiga rukun yang wajib ada jika akan mengamalkannya, yaitu:
  1. Orang Yang Berhak Menerima Warits (Al-Warits)
Al- warits adalah orang yang mendapat hak untuk mendapat bagian dari harta waris yang ditinggalkan oleh orang yang sudah mati, lantaran memiliki sebab-sebab untuk mewaris.
Pengertian ahli warits disini adalah orang yang mempunyai hak terhadap harta yang sudah ditinggalkan oleh pewaris, baik sebab keturunan (anak, cucu dan lain-lain), sebab perkawinan (istri), pembebasan budak atau karena hubungan agama islam (jika tidak terdapat ahli waris yang lain). Namun, tidak semua keluarga dari pewaris termasuk dari ahli waris, karena semua sudah ada takaran masing-masing sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku didalam pembagian harta waris.
  1. Orang Yang Hartanya Akan Diwariskan (Al-Muwarrits)
Al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda yang bisa diwariskan kepada ahli warits.
Adanya orang yang akan mewariskan hartanya, merupakan suatu rukun dalam pembagian harta waris yang wajib adanya. Karena, tanpa adanya pewaris tidak mungkin proses waris akan berjalan.
Pewaris haruslah sudah dalam keadaan sudah meninggal dunia, karena pembagian harta ketika orang yang membagikan masih hidup, tidak dikatakan sebagai waris, melainkan dikatakan sebagai harta hibbah.
Didalam waris, seorang pewaris tidak mempunyai hak atas harta yang ditinggalkannya, kecuali hanya sepertiga dari harta tersebut. Jadi, seorang pewaris tidak dapat memberikan hartanya kepada orang yang ia suka dan cintai melalui wasiat dengan sesuka hati, kecuali hanya sepertiga, sisanya harus dibagikan secara aturan yang berlaku didalam hukum waris islam. Hal ini sesuai dengan salah satu asas didalam pembagian harta waris, yaitu asas ijbari (paksaan).
  1. Harta Yang Siap Dibagikan (Al-Irtsu)
Harta yang siap dibagikan (al-irtsu) adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakai atau diwariskan pada ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat (jika pewaris meninggalkan wasiat).[1]
Harta peninggalan didalam kitab fiqih biasa disebut tirkah, yaitu segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia secara mutlak. Jumhur ulama berpendapat bahwa tirkah ialah segala yang dimiliki oleh seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.[2] Jadi, disamping harta benda, sesuatu yang merupakan hak dari almarhum, baik yang berupa hak kebendaan atau hak yang lain yang dapat dapat berpindah kepada ahli warisnya, juga dapat dijadikan harta warisan. Seperti hak mendapat bayaran hutang, bayaran kerja yang belum terbayarkan, pensiun dan lain lain.
Jika dilihat suasana masyarakat Indonesia yang berbeda dengan masyarakat dimana kitab fiqih ditulis, maka tentu pemilikan terhadap harta juga berbeda. Karena ada beberapa ulama Indonesia yang menentukan bahwa harta yang diperoleh dari hasil pencarian merupakan milik bersama yang masing-masing mempunyai bagian daripadanya.
Pada umumnya, di Indonesia, rumah tangga (keluarga) memiliki empat macam harta[3], yaitu sebagai berikut:
1.      Harta yang diperoleh sebelum perkawinan, sebagai hasil usaha masing-masing. Harta ini akan kembali kepada masing-masing pihak jika terjadi perceraian atau kematian.
2.      Harta yang dibawa saat mereka menikah, diberikan kepada kedua mempelai, mungkin berupa modal usaha atau perabot rumah tangga atau rumah tempat tinggal suami istri. Harta ini menjadi milik bersama, sehingga harus dibagi kepada keduanya jika terjadi perceraian atau kematian.
3.      Harta yang diperoleh salam perkawinan berlangsung, tetapi karena hibah atau warisan dari orang tuamereka atau keluarga. Harta ini akan kembali kepada masing-masing pihak jika terjadi perceraian atau kematian.
4.      Harta yang diperoleh selama perkawinan atas usaha bersama atau atas usaha salah satu pihak. Harta ini sering disebut harta gono gini. Maka ketika terjadi perceraian atau kematian, harta ini dibagi antara suami dan istri.
B.     Syarat-Syarat Mewarisi
Hukum waris berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerancuan dalam menerapkan hukum waris, haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu:
1.      Matinya Muwarits
Matinya muwarrits mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru dikatakan muwarrits ketika ia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta kepada ahli warisnya ketika ia masih hidup, maka pemberian itu tidak dinamakan waris, karena syarat-syarat waris tidak terpenuhi, yaitu matinya muwarrits.
Kematian muwarits, menurut ulama, dibedakan kedalam 3 macam, yaitu:[4]
·         mati haqiqy (sejati), yaitu kematian yang dapat disaksikan oleh pancaindra. Seperti mati karena sakit, kecelakaan atau yang lain yang mayatnya dapat disaksikan secara nyata oleh mata kita.
·         Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan oleh putusan hukum setelah melalui penelitian yang jelas, meskipun mayatnya tidak ditemukan (tidak dapat dilihat mata). Seperti ketika pemerintah mengumumkan bahwa semua penumpang kapal yang tenggelam tidak ada yang selamat, meskipun belum semua jasad pemumpang yang tenggelam dapat ditemukan.
·         Mati taqdiry (menurut dugaan), adalah kematian yang didasarkan pada dugaan yang kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati. Seperti orang yang pergi berburu kehutan, namun tidak kembali. Setelah dicari ternyata hanya ditemukan potongan bajunya yang berlumuran darah, maka orang tersebut diduga telah mati digigit hewan buas.
2.      Hidupnya Warits
Pada saat pewaris meninggal dunia haruslah ada ahli waris yang dapat menggantikan kedudukan hartanya. Maksudnya, hak kepemilikan dari pewaris harus dipindahkan kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Hidupnya ahli waris mutlak harus dipenuhi. Seorang ahli waris hanya akan mewaris jika masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah yang biasa muncul berkaitan dengan hal ini antara lain mafqud, anak dalam kandungan dan mati berbarengan.
Masalah mafqud (orang yang hilang dan tidak diketahui kematiannya) terjadi dalam hal keberadaan seorang ahli waris tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dalam kasus ini, pembagian waris dilakukan dengan memandang si mafqud masih hidup. Hal ini dilakukan untuk menjaga hak mafqud jika masih hidup. Jika dalam tenggang waktu yang patut ternyata mafqud tersebut tidak datang, sehingga ia diduga telah mati, bagian tersebut dibagi diantara para ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan masing-masing.[5]
Masalah anak dalam kandungan terjadi ketika istri pewaris dalam keadaan mengandung ketika pewaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat ditangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.[6]
Masalah mati berbarengan terjadi apabila dua orang atau lebih yang saling memusakai mati berbarengan. Misalnya, seorang bapak dan anak tenggelam atau terbakar bersama-sama sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih dahulu. Dalam hal ini, keduanya tidak saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti itu oleh para fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan, tertimpa puing atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.[7]
3.      Diketahui Status Kewarisan
Status kewarisan juga merupakan syarat yang mutlak harus diketahui sebelum pembagian harta waris dilaksanakan. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, saudara kandung, saudara seayah dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus dibagikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab dalam hukum waris, perbedaan jauh dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian tersendiri.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1. Rukun-rukun mewaris
a.       Orang yang berhak menerima warits (al-warits)
Al- warits adalah orang yang mendapat hak untuk mendapat bagian dari harta waris yang ditinggalkan oleh orang yang sudah mati, lantaran memiliki sebab-sebab untuk mewaris.
b.      Orang yang hartanya akan diwariskan (al-muwarrits)
Al-muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda yang bisa diwariskan kepada ahli warits.
c.       Harta yang siap dibagikan (al-irtsu)
Harta yang siap dibagikan (al-irtsu) adalah harta benda yang ditinggalkan oleh si mayit yang akan dipusakai atau diwariskan pada ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang dan melaksanakan wasiat (jika pewaris meninggalkan wasiat)
  1. Syarat-syarat mewaris
a.       Matinya muwarits
Matinya muwarrits mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru dikatakan muwarrits ketika ia telah meninggal dunia.
b.      Hidupnya warits
Pada saat pewaris meninggal dunia haruslah ada ahli waris yang dapat menggantikan kedudukan hartanya.
c.       Diketahui status kewarisan
Status kewarisan juga merupakan syarat yang mutlak harus diketahui sebelum pembagian harta waris dilaksanakan.



DAFTAR PUSTAKA


Syaebani, Beni Ahmad, 2009, Fiqih Mawaris, Bandung: Pustaka Setia
Lubid, Suhardi K, & Simanjuntak , Komis 2008, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Muhibbin, Moh. & Wahid, Abd. 2009, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Posistif Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika





[1] Moh Muhibbin, & Abd Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia (Jakarta; Sinar Grafika, 2009) Hal : 57
[2] Ibid, hal : 57
[3] Ibit, hal : 58-59
[4] Otje Salman, & Mustofa Haffas,  Hukum Waris Islam (Bandung: Refika Aditama, 2006) Hal 5
[5] Suhardi K Lubis, & Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta; Sinar Grafika, 2008) Hal. 65
[6] Ibit, Hal 63
[7] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, 2009) Hal. 131

contoh media visual

 kartun 


 bagan


 komik


 peta / globe


 poster


 abjad arab


karikatur gerakan shalat

mading